Jumat, 26 April 2013

"SELAMAT JALAN ISTRIKU"

Bismillahir-Rahmaanir-
Rahim Tiba-tiba HP ku berdering, setelah
menjawab salam suara diseberang telepon
tampak panik “Ayah.. bunda mimisan
nich.” Hmm.. kumaklumi kepanikan istriku
saat itu karena belum pernah dia
mengalami mimisan seperti ini. Memang
cuaca di bulan Agustus 2007 siang itu
begitu teriknya. Aku pikir ini akibat cuaca
yang terik itu. Kemudian aku sarankan dia
untuk segera ke dokter. Beberapa hari
kemudian istriku sakit pilek. Seperti
biasanya kalau sakit ia hanya minum obat
warung dan jarang sekali mau periksa ke
dokter. “ oalah bunda…. ke dokter ajah kok
takut,” ledekku, ku sorong pipi kenyalnya
dengan ujung jari, ia merajuk bibirnya
maju 2 centi, lucu melihatnya seperti itu.
Dua minggu berselang tapi pileknya belum
juga hilang. Malah katanya ada yang
terasa menyumbat di saluran hidungnya,
rasanya tak nyaman dan susah bernafas.
“Bun… besok kita ke Rumah Sakit ya! biar
ayah ijin masuk siang,” rayuku agar ia
mau ke Rumah sakit. Keesokan harinya
saya ajak ia ke RS. Bhakti Yudha Depok.
Saat itu dokter THT bilang istriku alergi
pada debu dan juga bulu-bulu binatang.
Tapi sampai obatnya habis pileknya belum
juga ada tanda-tanda kesembuhan.
Anehnya yang sering keluar lendir hanya
hidung sebelah kiri saja. Bahkan istriku
mulai susah bernafas melalui hidung, ia
hanya bisa bernafas melalui mulut. Dan
ketika saya membawanya periksa untuk
kedua kalinya dokter menyarankan untuk
rontgen. Namun dari hasil rontgen tidak
terlihat adanya kelainan apapun di hidung
istriku. *** Tanggal 3 Nov 2007 ... Aku
mengajaknya periksa ke RS Proklamasi
Jakarta, karena menurut informasi di sini
peralatanya lebih lengkap. Ternyata benar,
dengan alat penyedot dokter mengeluarkan
lendir dari dalam hidung istriku. Senang
rasanya melihat ia dapat bernafas dengan
lega. “Alhamdulillah…..” Beberapa hari
kemudian sumbatan itu kembali muncul.
“Duh..bunda!” Kontrol kedua ke RS.
Proklamasi masih saja dokter belum bisa
menyampaikan penyakit apa yang dialami
istriku ini. Dokter memasukkan kapas
basah ke hidung istriku (ternyata itu
adalah bius lokal), beberapa saat
kemudian sebuah gunting kecil
dimasukkan kedalam hidung dan.. “krek”
potongan daging kecil diambil. Belakangan
baru aku tau tindakan inilah yang
dinamakan biopsi. Tak ada yang
disampaikan kepada kami. Dokter
menyarankan dilakukan CT Scan.
Kemudian kami menuju ke RSCM untuk CT
Scan. Keesokan harinya hasil CT Scan aku
bawa kembali ke Dokter RS Proklamasi.
Setelah melihat hasil Scan, Dokterpun
menyampaikan hasilnya dan juga hasil
biopsi dari laboratorium. “ini ibu positif,”
kata dokter sambil menunjukkan foto CT
Scan. Nampak ada sebuah massa diantara
belakang hidung dan tenggorokan istriku.
Cukup besar seukuran kepalan tangan.
Aku masih belum mengerti maksud kata-
kata nya dan memang sama sekali tak ada
pikiran yang aneh aku coba bertanya,
“maksudnya apa dok?” “ibu positif
kanker!” Dek.. seolah detak jantungku
berhenti “KANKER…Dok?” Tiba-tiba
mataku jadi gelap, sebuah beban berat
serasa menindih badanku. Aku diam dan
tak bisa berkata apa-apa, lama aku
terdiam. “Kanker..?” tanyaku, tapi kalimat
itu tak mampu terucap hanya bersarang di
kepalaku. Sebuah penyakit yang selama ini
hanya aku kenal lewat informasi dan
berita-berita, kini penyakit itupun
menghampiri orang terdekatku orang yang
paling aku sayangi. Penyakit yang
menakutkan itu menyerang istriku. Kutatap
wajah cantik istriku yang dibalut jilbab
favoritnya, tenang.. teduh… tak ada
ekspresi apa-apa aku makin bingung.
“duhh…bunda apa yang ada dalam
fikiranmu bunda…” “Sekarang bapak ke
RSCM ke bagian Radiologi kita harus
bertindak cepat,” tiba-tiba aku tersadar.
Segera kuambil surat pengantar dokter
dan menuju RSCM. Sungguh tak pernah
terpikirkan sedikitpun sebelumnya, kini
kami berada dalam deretan orang-orang
penderita kanker di ruang tunggu spesialis
Radiologi ini. Aroma kecemasan bahkan
keputus asaan tergambar di wajah mereka.
Sebenarnya ini juga saya rasakan, tapi
saya harus menyembunyikan raut ini di
hadapan istriku. Aku harus tetap
menyuguhkan energi penyemangat
padanya. Dihadapan dokter Radiologi aku
bertanya, “sebenarnya istriku kena kanker
apa dok?” “kanker nasofaring.” jawab
dokter singkat. Ya Allah….kanker apa lagi
ini? Istilahnya saja aneh bagiku. Kenapa
harus istriku yang mengalaminya? “Tapi
Insya Allah masih bisa disembuhkan
dengan pengobatan sinar radiasi dan
kemoterapy,” dokter mencoba menangkap
kegalauan diwajahku. “Nanti ibu harus
menjalani pengobatan radiasi selama 25
kali.” Terbayang beratnya derita dan
kelelahan yang harus dialami istriku.
Belum lagi dengan kombinasi pengobatan
kemoterapy yang melemahkan fisik. Keluar
dari ruang radiologi seolah semuanya jadi
gelap, rasanya aku tak kuat menahan
segala beban ini. Segera aku sms family
dan teman-teman dekatku, aku kabarkan
keadaan istriku dan kumintakan do’a dari
mereka. Tak terasa bulir-bulir bening air
mata bermunculan disudut mataku. “Ayah
kenapa? nangis yach..?” dengan polos
pertanyaan itu keluar dari bibir istriku. “iya,
ayah sayaaang…. sama bunda,” suaraku
gemetar. Ku usap lembut kepala istriku. Ku
tepis perlahan tangannya yang mencoba
mengusap air mataku, ku gengggam kuat
jari-jari lemahnya. Hatiku berbisik “kenapa
tak ada kesedihan diwajahmu bunda?
apakah bunda ga tau penyakit ini begitu
berbahaya? Atau Allah telah
memberitahukan ini semua kepadamu?”
“Bunda biasa ajah koq..” Jawabanya
malah makin membuatku tak bisa
bernafas, air mataku akhirnya jatuh juga.
Kususuri lorong-lorong RSCM dengan
langkah lemas tak bertenaga seolah aku
melayang, tulang-tulang terasa tak
mampu menyangga badanku yang kecil
ini. Tanggal 5 Desember 2007 ... Mulai hari
itu istriku harus dirawat inap di RS.
Proklamasi. Semua persiapanpun
dilakukan mulai dari USG, Bond Scan dll.
Hasilnya rahim masih bersih dan
tulangpun normal artinya kankernya belum
mejalar ke bagian lain, Alhamdulillah…
sempat kuucap kata syukur itu. Tanggal 8
Desember 2007 ... Hari ke empat. Sore itu
aku dipanggil ke ruang Dokter Sugiono
yang akan melakukan Kemoterapy.
Dikatakan bahwa kanker istriku stadium
2A dan Insya Allah masih bisa diobati.
Istrikupun siap untuk menjalani
pengobatan dengan kemoterapy. Kemudian
kami minta ijin ke Dokter untuk
diperbolehkan pulang sambil
mempersiapkan segala sesuatunya. Malam
hari ketika kami di rumah, kami minta
pendapat dari pihak keluarga tentang
pengobatan yang akan kami lakukan.
Dengan berbagai pertimbangan dan
alasan pihak keluarga menyarankan agar
kami tidak menempuh jalan kemo dan
radiasi. Kami disarankan untuk menjalani
pengobatan dengan cara alternatif dan
pengobatan herbal. Akhirnya sejak saat itu
kami melakukan ikhtiar pegobatan dengan
cara alternatif dan minum obat-obat
herbal. Karena saat itu istriku sudah susah
untuk menelan maka obat herbal yang
diberikan tidak berupa kapsul, melainkan
berupa rebusan. Setiap hari istriku harus
minum ramuan dan rebusan obat-obat
herbal yang baunya sangat menyengat.
Tapi aku lihat ia dengan telaten dan sabar
rutin minum semua obat-obatan itu.
Semangatnya untuk sembuh begitu besar.
Doa pun tiada henti kupanjatkan siang dan
malam. Dan malam-malamku selalu ku
habiskan dengan tahajud dan hajat. Aku
mulai rajin mencari semua informasi yang
berhubungan dengan kanker nasofaring,
mulai dari makanan, cara pengobatan,
bahkan alamat klinik pengobatan alternatif.
Semua informasi aku cari melalui internet,
koran dan dari rekan-rekan kerja. Tiga
bulan pengobatan, tapi Allah sepertinya
belum memberi jalan kesembuhan dengan
cara ini, akhirnya obat herbal aku
tinggalkan. Bahkan pengobatan alternatif
sudah aku tinggalkan sejak 1 bulan
pertama karena aku ragu. Beberapa
keluarga istri mulai putus asa. Malah ada
yang beranggapan penyakit ini adalah
kiriman dari orang. Tapi aku bantah
semuanya,sempat ada pertentangan di
antara kami. Aku yakinkan istriku bahwa
ini adalah memang ujian dari Allah,
“Bun..semuanya atas kehendak Allah,
bahkan jauh sebelum kita lahir sudah
tertulis takdir ini, usia segini bunda sakit,
berobat kesini-sini itu semua sudah ada
dalam catatan Allah bun. Yang penting
sekarang kita jangan lelah berihtiar dan
bunda tetep harus semangat untuk
sembuh.” Ia mengangguk perlahan. Berat
badan istriku mulai turun drastis karena
tak ada asupan makanan, sebelum sakit
beratnya 53 Kg kini tinggal 36 Kg.
Kondisinya makin parah dan puncaknya
ketika aku lihat mata kirinya sudah tak
focus. Cara ia melihat seperti orang juling.
Menurut Dokter herbal yang menangani
istriku inilah rangkaian perjalanan kanker
tersebut yang lama kelamaan akan
menyerang otak. Dokter menganjurkan
untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Tanggal 26 Maret 2008 ... Akhirnya aku
kembali membawanya ke Rumah Sakit.
Kali ini aku membawanya ke RS. Husni
Thamrin. Istriku ditangani oleh team yang
terdiri Dokter THT, Dokter Internis dan
Dokter spesialis ahli kemoterapy,
Kebetulan Dokter Sugiono ahli kemoterapy
yang dulu merawat istriku di RS.
Proklamasi juga praktek di sini. Dan kini
Dokter sugiyono kembali menangani
istriku. Sore itu Dokter memanggilku ke
ruangannya. Dokter menjelaskan stadium
kanker istriku sudah menjadi 4C, dan
kankernya sudah mulai menggerogoti
tulang tengkorak penyangga otak. Melihat
hasil CT Scan nya aku merinding, terlihat
jelas tulang-tulang tengkorak itu keropos
layaknya daun termakan ulat. Aku ingin
menjerit, “Ya Allah… begitu berat cobaan
ini Kau timpakan pada kami” “Ma’afkan
ayah bun, ayah tak mampu menjaga
bunda…!” Yang lebih mengagetkan ketika
dokter mengatakan, “kita hanya bisa
memperlambat pertumbuhan kankernya
bukan mengobati.” Seolah hitungan
mundur kematian itu dimulai. Aku limbung
dan hampir taksadarkan diri, sekuat
tenaga aku mencoba untuk tetap tegar.
Dengan dipapah adik aku keluar dari ruang
dokter. Segera aku menuju Mushola
kuambil air wudhu dan kujalankan sholat.
Entah sholat apa yang kujalankan ini. “Aku
ingin ketenangan aku butuh
pertolonganMu ya Robb. Kutumpahkan
segala permohonan ini dihadapanMu yaa
Allah. Bisa saja dokter memfonis dengan
analisanya, tapi Engkaulah yang maha
kuasa atas segala sesuatunya. Engkau
maha menggenggam semua takdir, sakit
ini dariMu ya Allah dan padaMU juga aku
mohon obat dan kesembuhannya.” Segala
ikhtiar dan do’a tiada lelah kulakukan tuk
kesembuhan istriku. Malam-malamku
kulalui dengan sujud panjang disamping
bangsal rumah sakit. Kubenamkan
wajahku diatas sajadah lebih dalam lagi,
tiba-tiba aku merasa tak mimiliki kekuatan
apapun, aku berada dalam kepasrahan
dan penghambaan yang lemah. “Robb…
Engkau maha mengetahui, betapa segala
ihtiar telah kami lakukan. Tiada menyerah
kami melawan penyakit ini, kini aku
serahkan segalanya padaMu, tidak ada
kekuatan yang sanggup mengalahkan
kekuatannMu yaa…Robb, Tunjukkan
pertolonganMu, beri kesembuhan pada
istriku Ya..Allah.” Saat itu istriku masih
bisa bicara meski dengan suara kurang
jelas. Karena tenggorokannya pun sudah
menyempit tersumbat kanker, ia sangat
kesulitan dalam bernafas. Untuk
mengantisipasi agar tidak tersumbat
saluran nafasnya, dokter menyarankan
agar dipasang ventilator dileher istriku.
Akupun menyetujuinya meskipun aku tak
tega, tapi ini resiko terkecil yang bisa
diambil. Istriku pasrah, dia minta aku
menemaninya ke ruang operasi. Aku
sangat mengerti ia sangat takut dengan
peralatan medis di ruang operasi.
Kemudian aku mendampinginya kedalam
ruang operasi untuk pemasangan
Ventilator. Aku melihat dengan jelas leher
istriku disayat kemudian dimasukkan alat
bantu pernafasan itu. “Sebenarnya aku tak
tega melihatmu seperti ini bunda, tapi
inilah yang terbaik untukmu saat ini.”
Selesai pemasangan ventilator bicaranya
sudah tak bersuara lagi. Sejak saat itu
praktis komunikasi kami hanya dengan
isyarat atau terkadang istriku menulisnya
pada lembar-lembar catatan kecil yang
sengaja aku siapkan. Tentu saja hal ini
terasa capek baginya. Namun sekali lagi ia
terlihat tegar tak pernah aku mendengar ia
mengeluh. Akhirnya dengan berbagai
pertimbangan akupun menyetujui untuk
dilakukan kemoterapy terhadap istriku
Tanggal 6 April 2008 ... Kira-kira jam 12
siang kemo tahap pertama dilakukan.
Dengan perasaan tak menentu aku melihat
dokter meracik obat dengan perlengkapan
pengaman yang lengkap. Karena menurut
dokter obat ini memang keras. “Ya Allah
beri kekuatan pada istriku…!” Beri
kesembuhan melalui ihtiar obat ini ya
Allah..!” Sepanjang proses pengobatan tak
hentinya kupanjatkan do’a dan dzikir
dibantu dengan beberapa anggota
keluarga. Menurut Dokter kemo ini
dilakukan dalam 3 sampai 5 tahap. Satu
tahapan kemo memakan waktu 5 hari
kemudian jeda 3 minggu untuk dilanjutkan
ke tahap berikutnya. Hari kedua setelah
kemo kurang lebih jam 9 malam, istriku
mulai merasa mual dan muntah. Hari
ketiga jam 12 malam mulai keluar
mimisan dengan darah hitam mengental.
Hari ke empat jam 8 pagi ketika saya
memandikan dan membersihkan mulutnya
yang terus menerus mengeluarkan lendir,
terdapat lendir bercampur darah hitam
pekat dan mengental. Menurut dokter ini
adalah tanda kankernya sudah mulai
hancur. Malam harinya istriku tidur sangat
nyenyak dan tidak banyak batuk berdahak
seperti hari-hari sebelumnya.
Alhamdulillah kemo tahap pertama selesai.
Dokter bilang jika kondisi istriku membaik
maka tiga hari lagi boleh pulang. Terlihat
wajah cerah istriku ketika mendengar
kabar ini. “nanti kalo pulang mau kemana
bun.. ke Sawangan apa ke Kebayoran
(rumah ibunya)?” “ke Sawangan aja
rumah kita sendiri,” jawabnya melalui
secarik kertas. Namun ternyata dua hari
kemudian ia mengalami diare yang hebat
ini adalah efek samping dari obat kemo,
sehingga kondisinya kembali lemas.
Rencana pulangpun harus ditunda
menunggu kondisinya membaik. Tetapi
makin hari kondisi istriku makin drop.
Hingga menjelang kemo tahap kedua
malah albumin dalam darahnya menurun.
Selama dirawat istriku meminta agar saya
sendiri yang memandikannya, bahkan aku
juga yang membersihkan kotorannya.
Semuanya saya kerjakan dengan telaten
karena aku merasa sekarang saatnya
untuk membalas semua kebaikan yang
telah dilakukannya kepadaku selama ini.
Ketika istriku sehat dialah yang selalu
merawatku, menemaniku dan selalu
menyiapkan semua kebutuhanku. Selama
hampir satu bulan di Rumah Sakit kami
merasa menemukan keluarga baru.
Keakraban terjalin antara kami dengan
team dokter, dengan para suster bahkan
juga dengan cleaning service yang tiap hari
membersihkan kamar istriku. Saya merasa
senang ketika suatu hari istriku dapat
tertawa riang bercanda dengan para suster
meski tawanya tanpa suara. Minggu, 4 Mei
2008 ... Kemo tahap ke 2 dilakukan.
Sepertinya Allah benar-benar menguji
kesabaranku. Ketika hendak dilakukan
kemo, tabung infus 1000cc yang
digunakan untuk campuran obat kemo
ternyata tidak ada. Rumah sakit kehabisan
stock, dan ini adalah sebuah kecorobohan
yang mestinya tidak terjadi. Karena
tentunya pihak rumah sakit telah
mengetahui jadwal pelaksaan kemo ini.
Dokterpun marah. Kemudian Dokter
menyarankan saya untuk segera membeli
sendiri tabung infus di tempat lain. Tujuan
saya adalah RSCM sebagai Rumah sakit
terdekat, namun jika menuju RSCM
menggunakan kendaraan akan memakan
waktu lama karena jalannya memutar.
Sayapun berlari ditengah terik matahari
pukul 12 siang menuju RSCM. Namun
disanapun tidak tersedia, kemudian saya
berlari lagi menuju RS Sant Carolus, di
sinipun nihil. Begitu juga ketika saya ke
Apotik melawai tak bisa mendapatkannya.
Akhirnya saya mendapatkan tabung infus
tersebut di Apotik Titimurni RS. Kramat.
Akhirnya kemo tahap ke 2 pun dapat
dilakukan. Senin, 5 Mei 2008 ... Hari ini
Dinda anak kami yang kecil ulang tahun ke
4. Perhatian dan kecintaan istriku pada
anaknya tak pernah berkurang. Dibatas
ketidak berdayaannya dia menuliskan
sesuatu, “Ayah jangan lupa beliin hadiah
buat Dinda, ayah beliin jaket nanti bunda
titip mukena, kasihan mukena dede sudah
jelek. Bilang ke dede ini mukena dari
bunda.” Atas permintaan istriku siang itu
sebagai tanda syukur kami memotong 2
buah kue ulang tahun yang salah satunya
untuk dibagikan ke suster-suster yang
jaga. Kemudian istriku minta dibantu turun
dari tempat tidur, katanya ingin duduk
bareng deket Dinda. Ia mencoba
memberikan senyum bahagia pada Dinda
dan menyembunyikan rasa sakitnya.
Sementara Dinda nampak bahagia
dipangku bundanya, mungkin ia mengira
bundanya hanya sakit biasa saja. Lagu
“selamat ulang tahun” yang kami
nyanyikan terdengar getir di telingaku.
Terasa pilu aku menatap mereka. Selasa,
13 Mei 2008 ... Biasanya jika istriku
menginginkan sesuatu ia akan
membangunkan saya dengan mengetuk
besi tempat tidurnya. Namun malam itu
saya merasa sangat ngantuk dan lelah,
saya menulis pesan pada istriku,
“bun..nanti kalo perlu apa-apa panggil
suster aja ya! Ayah ngatuk dan cape,
jangan bangunin ayah ya!” Dengan isyarat
lemah ia mengiyakan permintaanku, ia
mengusap tanganku kemudian menuliskan
sesuatu “ayah tidur aja gapapa kok, bunda
juga mau istirahat.” Rabu, 14 Mei 2008 ...
Entah mengapa pagi ini aku sangat ingin
merawatnya. Ketika ia kembali diserang
diare berkali-kali yang sangat hebat aku
sendiri yang membersihkan semuanya.
Kemudian memandikannya dan mengganti
pakaiannya. Pagi itu aku minta Lia anak
sulung kami yang masih duduk di kelas 5
SD untuk menjaga bundanya, sebelum
kemudian aku tinggal berangkat kerja.
Siang pukul 11 Lia menelpon “Ayah, bunda
pingsan nafasnya cepet banget.” Aku kaget
dan sangat khawatir. Selang 15 menit Lia
sms “bunda sekarang ada di ruang ICU”.
Astaghfirullah haladziim… apa yang terjadi
pada istriku. Segera aku minta izin
meninggalkan kantor. Di Rumah Sakit aku
dapati Lia menangis sesegukan tak
berhenti. “bunda yah… tolongin bunda
yahh….!” Kuhampiri istriku yang tergolek
taksadarkan diri. Perawat memasang
semua peralatan pada tubuh istriku, entah
alat apa saja ini. Kuusap perlahan
keningnya, dingin sekali. Tangan dan
kakinyapun sangat dingin. Hingga
menjelang maghrib aku tak beranjak dari
sampingnya. Tak hentinya mulut ini
memanjatkan doa. Sementara di luar
ruang ICU sudah banyak kerabat
berdatangan. Tekanan darahnya sangat
rendah dibawah 70. Dokter memberikan
obat penguat tekanan darah dengan dosis
tinggi. Tekanan darahnya sempat naik
namun masih dikisaran 75-80, sangat
rendah. Berkali-kali dokter menyuntikkan
obat perangsang namun hasilnya tetap
sama tak berubah. Dokter memanggilku,
perasaanku gelisah tak menentu, campur
aduk antara cemas, bimbang dan
ketakutan yang amat sangat. Dugaanku
benar Dokterpun menyerah. Melihat
kondisinya yang terus menurun ia
menyarankan agar semua alat bantu
dilepas saja. “maksudnya dok..?” aku
menodong penjelasan. “secara medis
kondisi ibu sudah tidak dapat ditolong lagi,
lebih baik kita do’akan saja.” Aku benar-
benar lemas mendengarnya seluruh
badanku gemetar merinding “benarkah tak
ada lagi harapan.” Tiba-tiba aku
merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku
tak mau menyerah, aku meminta agar
semua alat bantu itu tetap terpasang pada
tubuh istriku, sambil menunggu keputusan
team dokter besok pagi. “Aku tak mau
kehilanganmu bunda.” Ku pegang kuat
jemarinya, “buka matamu bunda sebentar
saja, ayah ingin menatap mata bening
bunda untuk terakhir kalinya,” kubisikan
lembut ditelinganya. Pukul 22, aku disodori
surat pernyataan, tak sempat aku baca,
kata suster ini adalah Surat persetujuan
untuk melepas semua alat bantu dari
tubuh istriku. “Tak sanggup aku
melakukan ini bun, aku ingin tetap
menatap wajahmu, aku ingin tetap
mendampingimu meski dalam
ketidakberdayaanmu.” Akhirnya adikku
yang menandatanganinya. Aku tak ingin
selalu dihinggapi rasa bersalah jika
menandatangani surat itu. Kemudian
semua alat bantu dilepas dari tubuh
istriku, tinggal tersisa alat pendeteksi detak
jantung. “Bun…..inilah yang terbaik yang
diberikan Allah buat kita, maafkan ayah
bun ayah tak bisa menjaga bunda. Ayah
ikhlas bunda pergi, ayah terima semua
dengan ihklas bun.. Jangan khawatir bun,
ayah akan menjaga dan merawat anak-
anak kita,” kubisikan lirih ditelinga istriku.
Kutemui Lia yang menunggu diluar ruang
ICU, kubelai rambutnya penuh sayang. Ia
menangis keras sejadi-jadinya, mungkin ia
paham apa yang kumaksudkan.
“Bundaa….. Lia ga mau...
kehilangan bunda, jangan tinggalin lia
bundaa..!!” Tangisnya memekik, merebut
perhatian semua orang diruang tunggu
ICU ini. Semua mata menatap kami tapi
mereka diam seolah mahfum dengan
keadaan kami. Dalam setiap rangkaian
doaku tak pernah aku mengucapkan kata-
kata menyerah “kalo memang hendak
Engkau ambil maka mudahkan,” tak
pernah aku menyebut kata-kata itu. Aku
selalu minta kesembuhan, kesembuhan
karena aku memang menginginkan istriku
benar-benar sembuh. Sepertinya kini aku
harus menyerah dan pasrah “Ya.. Robb
jika memang Engkau menentukan jalan lain
aku ikhlas ya Allah…., mudahkan jalan
istriku untuk menghadapmu dengan
khusnul khootimah.” Menurut suster dalam
kondisi seperti ini pasien masih bisa
mendengar. Kubimbing istriku menyebut
kalimat “LAAILAHA ILLALLAH
MUHAMMADUR ROSULULLAH..” perlahan
aku membimbingnya. Rasanya aku
mengerti betul setiap helaan nafasnya,
raga kami bagai menyatu. Kuulang hingga
berkali-kali dengan helaan nafas yang
terirama pelan. Dua bulir bening tersembul
dari sudut matanya. Aku merasakan ia
sanggup mengikuti kalimat ini, terimakasih
ya Allah..! Kamis, 15 Mei 2008 ... Aku
terbangun ketika tiba-tiba seorang suster
memanggil “Keluarga ibu Siti Nurhayati..!”
Aku bergegas masuk ke ruang ICU, jam
menunjuk Pukul 05.05, masih pagi dengan
hawa dingin yang menyusup tulang. “Ma’af
pak, ibu sudah tidak ada.” ujar suster tadi
singkat. Meski aku tau maksudnya tapi
aku masih tak percaya. Kutengok layar
monitor yang terhubung ketubuh istriku.
Tak ada lagi yang bergerak disana. Bagai
tersambar petir, kudekap tubuh lemas
istriku. Bibirnya menoreh segaris senyum.
“INNA LILLAAHI WAINNA ILAIHI
ROOJIUUN.” Aku lunglai terduduk
disampingnya tapi tak ada lagi air mata
yang keluar. “Bun, Ayah ikhlas melepas
bunda, Allah telah memilihkan jalan terbaik
buat kita.” Selamat Jalan Istriku…… jemput
aku dan anak-anak nanti di pintu
SurgaNya. Sumber : wadi. co. id
Wallahua’lam bish Shawwab.... Semoga
bermanfaat bagi yang membacanya ..

Kamis, 18 April 2013

BERGETAR HATI BACA INI..!

Suatu hari, anak seorang lelaki miskin
yang hidup dari menjual asongan dari
pintu ke pintu menemukan bahwa
kantongnya hanya tersisa beberapa sen
uangnya, dan dia sangat lapar.
Anak lelaki tersebut memutuskan untuk
meminta makanan dari rumah berikutnya.
Akan tetapi, anak itu kehilangan
keberanian saat seorang wanita muda
membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi
meminta makanan, dia hanya berani
meminta segelas air.
Wanita muda tersebut melihat dan berpikir
bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar.
Oleh karena itu, dia membawakan segelas
besar susu. Anak lelaki itu meminumnya
dengan lambat.
Kemudian, dia bertanya, “ Berapa aku
harus membayar untuk segelas besar susu
ini?” Wanita itu menjawab, “Kamu tidak
perlu bayar apa pun. Ibu kami
mengajarkan tidak menerima bayaran
untuk kebaikan,” kata wanita itu
menambahkan.
Kemudian, anak lelaki itu menghabiskan
susunya dan berkata, “Dari dalam hatiku,
aku sangat berterima kasih kepada Anda.”
Sekian tahun kemudian, wanita muda
tersebut mengalami sakit yang sangat
kritis. Para dokter di kota itu sudah tidak
sanggup menanganinya.
Akhirnya, mereka mengirimnya ke kota
besar tempat dokter spesialis yang mampu
menangani penyakit langkanya tersebut.
Dr. Howard Kelly dipanggil untuk
melakukan pemeriksaan. Saat dia
mendengar kota asal si wanita tersebut,
terbersit seberkas pancaran aneh pada
mata Dr. Kelly. Dia segera bangkit dan
bergegas turun melalui hall rumah sakit
menuju kamar si wanita tersebut.
Dengan berpakaian jubah kedokteran, dia
menemui si wanita itu. Dia langsung
mengenali wanita itu pada sekali pandang.
Kemudian, dia kembali ke ruang konsultasi
dan memutuskan untuk melakukan upaya
terbaik untuk menyelamatkan nyawa
wanita itu. Mulai hari itu, dia selalu
memberikan perhatian khusus pada kasus
wanita tersebut.
Setelah melalui perjuangan yang panjang,
akhirnya diperoleh kemenangan…. Wanita
itu sembuh! Kemudian, Dr. Kelly meminta
bagian keuangan rumah sakit untuk
mengirimkan seluruh tagihan biaya
pengobatan wanita itu kepadanya... Dr.
Kelly melihatnya dan menuliskan sesuatu
pada pojok atas lembar tagihan, lalu
mengirimkannya ke kamar pasien.
Wanita itu takut untuk membuka tagihan
tersebut. Dia sangat yakin bahwa dia tak
akan mampu membayar tagihan tersebut,
walaupun harus dicicil seumur hidupnya.
Akhirnya, dia memberanikan diri untuk
membaca tagihan tersebut. Ada sesuatu
yang menarik perhatiannya pada pojok
atas lembar tagihan tersebut. Dia
membaca tulisan yang berbunyi…..
“Telah dibayar lunas dengan segelas besar
susu!”
Tertanda,
Dr. Howard Kelly
Air mata kebahagiaan membanjiri mata
wanita itu. Dia berdoa, “Tuhan, terima
kasih… bahwa cinta-Mu telah memenuhi
seluruh bumi melalui hati dan tangan
manusia.”
=========
Terkadang, Sedekah dan Kebaikan di
masa lalu dapat
menyelesaikan masalah kita di masa yang
akan datang

Minggu, 07 April 2013

Kenapa ya banyak yang sibuk cari pacar?

Gak punya pacar juga gak bakalan
kelaparan
Gak punya pacar juga gak bakalan miskin
Gak punya pacar juga gak bakalan
menderita
Gak punya pacar juga gak bakalan hina
Gak punya pacar juga gak bakalan
sengsara
Gak punya pacar juga gak bakalan mati
Justru,
Jika pacaran hidup bisa kelaparan,karena
memikirkan dia
Bisa miskin karena membiayai dia
Bisa menderita karena ucapan nya
Bisa hina karena melanggar agama
Bisa sengsara karena terlalu berlebihan
terhadapnya
Dan
Bisa mati karena patah hati.

Kamis, 04 April 2013

:: PESAN BIJAK DARI BEBERAPA MACAM BUAH-BUAHAN ::

Jadilah seperti jagung, jangan seperti
jambu monyet.Jagung membungkus
bijinya yang banyak,sedangkan jambu
monyet memamerkan bijinya yang cuma
satu-satunya.
Artinya : Jangan suka pamer kelebihan...
kaya' jambu mete punya satu biji aja
sombong
Jadilah seperti durian, jangan seperti
kedondong Walaupun luarnya penuh kulit
yang tajam, tetapi dalamnya lembut dan
manis. hmmmm, beda dengan kedondong,
luarnya mulus, rasanya agak asem dan di
dalamnya ada biji yang berduri.
Artinya : Don't judge the Book by it's
cover..
Jadilah seperti bengkoang.Walaupun hidup
dalam kompos sampah, tetapi umbi isinya
putih bersih.
Artinya : Jagalah hatimu jangan kau nodai.
Jadilah seperti tandan pete, bukan seperti
tandan rambutan.Tandan pete membagi
makanan sama rata ke biji
petenya, semua seimbang, tidak seperti
rambutan..ada yang kecil ada yang gede.
Artinya : Selalu adil dalam bersikap.
Jadilah seperti cabe.Makin tua makin
pedas.
Artinya : Makin tua makin bijaksana.*oh
sangkain bandot tua makin tua makin
menjadi jadi hohoho...*
Jadilah seperti buah kelapa Selain
buahnya, semua bagian pohon kelapa
mulai dari batang, ranting, daunnya bisa
bermanfaat bagi siapa saja
Artinya : Berikan yang terbaik dan
bermanfaat bagi semua orang.

Selasa, 02 April 2013

KISAH UANG Rp.1000 DAN Rp.100.000

Uang kertas Rp.1000 dan Rp.100.000
sama-sama terbuat dari kertas,
sama-sama di cetak serta diedarkan oleh
Bank Indonesia. Secara
kasat mata mereka memang tidak memiliki
perbedaan yang
mencolok. Secara bersamaan mereka
dibuat, keluar dan beredar di
tengah-tengah masyarakat melalui Bank
Indonesia.
Beberapa bulan kemudian, secara tidak
sengaja mereka bertemu di
salah satu dompet seorang anak muda.
Kemudian, terjadilah
percakapan diantara mereka,
Rp.100.000 bertanya kepada Rp.1000.
“Kenapa badan kamu begitu
lusuh, kotor dan bau?!”
Lalu di jawab oleh uang Rp.1000, “Karena,
setelah aku keluar dari
Bank, aku langsung berada di tangan
orang-orang bawahan. Dari
tukang becak, tukang ojek, tukang parkir,
penjual sayur, penjual
ikan, bahkan sampai di tangan pengemis”.
Lalu uang Rp.1000 bertanya kembali
kepada Rp.100.000. “Kenapa
kamu masih tampak kelihatan seperti
masih baru, rapi dan bersih?”
Di jawab oleh uang Rp.100.000. “Karena
begitu aku keluar dari bank,
aku langsung di sambut wanita-wanita
cantik, dan aku beredar di
mall, restoran mahal, atau hotel
berbintang. Keberadaanku sangatlah
di jaga dan terkadang jarang keluar dari
dalam dompet”.
Lalu uang Rp.1000 bertanya lagi,
“Pernahkah kamu mampir di
tempat ibadah?”
“Belum pernah”, kata si Rp.100.000.
Lalu Rp.1000 pun berkata, “Ketahuilah,
meskipun keadaanku
sekarang seperti ini, namun setiap hari aku
selalu mampir di masjid-
masjid, berada di tangan anak-anak yatim.
Bahkan aku selalu
bersyukur kepada Tuhan. Aku tidaklah di
pandang sebagai nilai oleh
para manusia, namun aku di pandang
sebagai MANFAAT.”
Akhirnya, menangislah Rp.100.000. Karena
ia tersadar telah merasa
besar, hebat, tinggi, tapi tidaklah begitu
bermanfaat selama ini.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India | batu akik | vsi